Pada akhir Desember 2015 lalu saya,
Ayrell Fachrezy, dengan ayah saya, Tri Sulaksono, berlibur ke perbukitan
Bumiayu yang terletak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tepatnya dibalik gunung
Slamet. Pada awalnya kami hanya ingin touring
ke kota Tegalnya saja dengan menggunakan motor secara ber-iringan. Namun
setelah berangkat dari Tangerang sekitar jam 6 pagi, kemudian menempuh
perjalanan sekitar 8 jam hingga sampai di Kota Tegalnya melalui jalur Pantura.
Kami memutuskan untuk menginap di suatu hotel kecil yang berada di pinggir
jalan bernama “Riez Palace Hotel” selama satu malam. Lalu pada malam harinya,
ayah saya menelpon temannya yang bekerja di Universitas Politeknik Tegal, yang
bangunan kampusnya merupakan hasil karya ayah saya. Beliau, Pak Erwadi,
mengajak kami berdua untuk pergi berwisata ke tempat pemandian air panas guci
yang juga berada di kaki gunung slamet.
Keesokan harinya, sekitar pukul 7 kami
’check out’ dari hotel untuk kemudian menjemput
Pak Erwadi di kediamannya yang tak jauh dari hotel yang kami tempati. Bila
diperhitungkan kalau kota Tegal memang kota yang kecil, sehingga mau
kemana-mana terasa dekat. Setibanya kami di rumahnya, kami sempat menetap dulu
di sana sekitar 15 sampai 20 menit untuk mempersiapkan tenaga dan mental,
sambil minum teh poci khas Tegal. Setelah siap, kami pun langsung berangkat.
Pak Erwadi dibonceng oleh ayah saya karena motor ayah saya memiliki posisi yang
lebih nyaman untuk boncengan dibanding motor saya yang berjenis sport. Sekitar
pukul setengah 8 kami berjalan beriringan melewati jalur yang lingkungannya
bagi saya jarang sekali saya temui. Mengingat selama tumbuh besar waktu saya
banyak dihabiskan hanya disekitar Tangerang atau Jakarta saja. Perjalanan
terasa lebih asyik karena kami naik motor. Entah mengapa dengan naik motor ada
sesuatu yang membuat saya bisa lebih menikmati perjalanan dibandingkan naik
mobil. Bagi saya naik mobil itu justru jauh lebih melelahkan.
Mengingat belum sarapan, kami pun
berhenti di sebuah rumah makan yang direkomendasikan Pak Erwadi. Rumah makan
itu menghidangkan menu andalannya yaitu “Kepala Ikan Manyung”. Tentu kami tidak
mau kehilangan kesempatan untuk mencobanya sehingga kami memesan masing-masing
satu. Tak lupa juga menu “Cah Kangkung” yang sudah menjadi favorit keluarga
saya. Setelah perut terisi sebagai sumber dan cadangan tenaga untuk beberapa
jam kedepan, kami pun melanjutkan perjalanan. Melewati perdesaan, pasar-pasar
daerah, kemudian sawah-sawah. Dari sana sudah mulai terlihat di kejauhan mata
memandang, terlihat gunung slamet yang masih samar-samar terhalang oleh kabut
dan awan.
Setelah sekitar 2 sampai 3 jam
perjalanan, kami tiba di pintu gerbang tempat wisata tersebut. Namun dari sana
masih ada sekitar 10 kilometer lagi untuk sampai ke tempat penginapannya. Kami
melewati jalan yang hanya bisa dilalui 1 mobil dan 1 motor, sehingga agak repot
bila ada 2 mobil berpapasan. Namun untungnya kami menggunakan motor sehingga
lebih lincah melewati jalan sempit dan juga berliku-liku, plus naik turun pula.
Tak juga sepanjang perjalanan, telinga terasa ‘budeg’ karena tekanan udara yang
berbeda ketika jalan naik.
Kami pun tiba di wilayah penginapan di
sana. Kami berhenti dulu di satu masjid untuk beristirahat sambil menunggu
waktu sholat Dzuhur. Setelah waktu Dzuhur datang, ayah saya pun mengambil air
wudhu. “Airnya dingin...” ucapnya mengingat air ini murni berasal dari pegunungan dan juga suhu udara disana
yang masih bersih. Kami bergantian melaksanakan sholat karena salah satu dari
kami harusada yang mengawasi barang-barang bawaan.
Setelah selesai melaksanakan sholat,
kami memutuskan untuk tidak hanya berhenti di sana lalu menikmati pemandangan
dari kaki gunung. Kami memutuskan untuk naik keatas puncak menggunakan motor
kami untuk melihat gunung slamte itu dari jarak yang lebih dekat. Kami melewati
jalur yang terbuat dari bebatuan yang tersusun secara tidak rata. Sungguh pegal
rasanya tangan ini mengendarai motor sport untuk naik bukit. Tengok ke kiri
sedikit sudah jurang. Pada hari itu saya, ayah saya, dan temannya, bisa di
bilang menantang maut. Bila ban kami tergelincir saja, sudah selesai semua
urusan.
Lalu kami sempat berhenti sejenak di
satu pos disana. Untuk istirahat sejenak dan menikmati pemandangan untuk
sementara. Lalu ada seorang petugas yang bekerja di perbukitan sana. Ayah saya
dan Pak Erwadi sempat mengobrol dengannya menggunakan bahasa Jawa yang saya
tidak mengerti. Kemudian ternyata ia memberitahu kalau di tempat kita berhenti
itu belumlah puncak satu alias puncak paling tinggi di bukit itu. “Puncak yang
paling tinggi masih di sana, puncak satu” ungkapnya kepada kami.
Kamipun kembali menyarter motor kami,
lalu tancap gas untuk naik ke puncak satu. “Tanggung dek, udah sampe sini masa
gak naek kesana..” ucap ayah saya. Karena jalan terus menanjak, sehingga
putaran mesin saya harus terus saya tahan di tengah hingga atas agar motor mau
diajak menanjak. Hal ini menyebabkan indicator radiator saya menyala 4 strip.
Normalnya 3 strip. Ini artinya mesin sudah mulai overheat. Namun saya tidak perduli, toh begitu sampai atas pasti
kami bakal berhenti lama di sana sehingga mesin kembali ‘adem’.
Sesampainya di puncak satu, kami
memarkirkan motor kami dipinggir, lalu kami harus menaiki sedikit anak tangga
untuk benar-benar berada di atas karena memang di atas tersedia seperti semacam
pos untuk orang bisa duduk dan beristirahat disana, sambil menikmati
pemandangan gunung slamet dari jarak yang cukup dekat. “Wah keren ini pak
pemandangannya..” ungkap pak Erwadi kepada ayah saya. Kami pun mengambil
beberapa foto untuk kenang-kenangan. Pak Erwadi juga mengambil foto saya dan
ayah saya.
Ketika di sana, saya melihat ke arah
dimana langit terhampar luas. Tidak ada gedung atau apapun. Saya benar-benar
bisa melihat awan kira-kira ratusan
kilometer jaraknya. Di benak saya seketika berpikir, “mamah sama mbak lagi apa ya di rumah?” Karena saya sadar begitu
jauh jarak saya dengan rumah. Dan apapun bisa saja terjadi ketika dalam
perjalanan menuju pulang ke rumah. Saya justru ingin sekali segera pulang.
Setelah sekitar 1 jam setengah kami duduk di puncak satu. Kami
memutuskan untuk kembali turun ke daerah penginapan. Lalu selama melakukan
perjalanan, kami sempat tersesat di jalur yang kami rasa di situ-situ saja.
Rasa panik sempat muncul di dalam diri saya karena kami hanya bertiga di antara
bukit-bukit yang benar-benar masih kental ‘hutan’nya. Sampailah kami melihat
beberapa pedagang sayur yang sedang menaikan sayur-sayurnya ke dalam mobil
losbak mereka. Lalu kami menghampiri mereka untuk meminta bantuan agar tidak tersesat.
Lalu kami akhirnya berjalan mengikuti mobil mereka. Ternyata benar saja, ada
jalur yang memang bisa disebut ‘blind
spot’ Kami tidak ngeh kalau ada jalur kesana, pantas saja kami dari tadi
hanya mondar-mandir disitu saja.
Setelah sampai di daerah penginapan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada mereka karena sudah mau mengantarkan kami
kembali ke ‘wilayah aman’. Setelah itu kami check
in ke hotel kecil di sana untuk menginap selama semalam. Kami pun
berisitirahat dengan cukup, karena keesokan harinya saya dan ayahnya harus
mengantarkan pulang Pak Erwadi kembali ke rumahnya.
Keesokan paginya, sekitar pukul 8 atau
9. Saya bangun kedua setelah Pak Erwadi. Lalu saya menyempatkan diri untuk
mencuci motor saya dulu dengan ember yang tersedia di sana. Karena motor saya
benar-benar tertutup debu dan pasir bekas perjalanan panjang selama dua hari
terakhir. Begitu pula dengan ayah saya setelah ia bangun.
Setelah itu kami kembali bersiap-siap
untuk kembali melakukan perjalanan pulang. Kami check out dari hotel tersebut, lalu kembali tancap gas. Setelah
beberapa jam perjalanan ke Kota Tegal, Pak Erwadi berhasil dengan selamat kami
antar pulang ke depan pintu rumahnya. Tak berlama-lama di sana, kami langsung
lanjut tancap gas pulang ke Tangerang. Jalan macet, gerimis, panas kami terjang
saja terus. Karena saya dan ayah saya sudah ingin cepat-cepat pulang kerumah. Cukup
pegal tangan dan panas bokong ini karena melakukan perjalanan di atas motor
secara non-stop. Lalu kami sampai
Jakarta sudah begitu malam. Karena seingat saya, kami sampai rumah itu sekitar
jam 2 tengah malam. Sungguh melelahkan touring
kami pada waktu itu. Entah di masa depan apakah saya ingin melakukannya lagi
atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar