Kamis, 31 Agustus 2017

ENVIRO 1

          Pada akhir Desember 2015 lalu saya, Ayrell Fachrezy, dengan ayah saya, Tri Sulaksono, berlibur ke perbukitan Bumiayu yang terletak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tepatnya dibalik gunung Slamet. Pada awalnya kami hanya ingin touring ke kota Tegalnya saja dengan menggunakan motor secara ber-iringan. Namun setelah berangkat dari Tangerang sekitar jam 6 pagi, kemudian menempuh perjalanan sekitar 8 jam hingga sampai di Kota Tegalnya melalui jalur Pantura. Kami memutuskan untuk menginap di suatu hotel kecil yang berada di pinggir jalan bernama “Riez Palace Hotel” selama satu malam. Lalu pada malam harinya, ayah saya menelpon temannya yang bekerja di Universitas Politeknik Tegal, yang bangunan kampusnya merupakan hasil karya ayah saya. Beliau, Pak Erwadi, mengajak kami berdua untuk pergi berwisata ke tempat pemandian air panas guci yang juga berada di kaki gunung slamet.
          Keesokan harinya, sekitar pukul 7 kami ’check out’ dari hotel untuk kemudian menjemput Pak Erwadi di kediamannya yang tak jauh dari hotel yang kami tempati. Bila diperhitungkan kalau kota Tegal memang kota yang kecil, sehingga mau kemana-mana terasa dekat. Setibanya kami di rumahnya, kami sempat menetap dulu di sana sekitar 15 sampai 20 menit untuk mempersiapkan tenaga dan mental, sambil minum teh poci khas Tegal. Setelah siap, kami pun langsung berangkat. Pak Erwadi dibonceng oleh ayah saya karena motor ayah saya memiliki posisi yang lebih nyaman untuk boncengan dibanding motor saya yang berjenis sport. Sekitar pukul setengah 8 kami berjalan beriringan melewati jalur yang lingkungannya bagi saya jarang sekali saya temui. Mengingat selama tumbuh besar waktu saya banyak dihabiskan hanya disekitar Tangerang atau Jakarta saja. Perjalanan terasa lebih asyik karena kami naik motor. Entah mengapa dengan naik motor ada sesuatu yang membuat saya bisa lebih menikmati perjalanan dibandingkan naik mobil. Bagi saya naik mobil itu justru jauh lebih melelahkan.
          Mengingat belum sarapan, kami pun berhenti di sebuah rumah makan yang direkomendasikan Pak Erwadi. Rumah makan itu menghidangkan menu andalannya yaitu “Kepala Ikan Manyung”. Tentu kami tidak mau kehilangan kesempatan untuk mencobanya sehingga kami memesan masing-masing satu. Tak lupa juga menu “Cah Kangkung” yang sudah menjadi favorit keluarga saya. Setelah perut terisi sebagai sumber dan cadangan tenaga untuk beberapa jam kedepan, kami pun melanjutkan perjalanan. Melewati perdesaan, pasar-pasar daerah, kemudian sawah-sawah. Dari sana sudah mulai terlihat di kejauhan mata memandang, terlihat gunung slamet yang masih samar-samar terhalang oleh kabut dan awan.
          Setelah sekitar 2 sampai 3 jam perjalanan, kami tiba di pintu gerbang tempat wisata tersebut. Namun dari sana masih ada sekitar 10 kilometer lagi untuk sampai ke tempat penginapannya. Kami melewati jalan yang hanya bisa dilalui 1 mobil dan 1 motor, sehingga agak repot bila ada 2 mobil berpapasan. Namun untungnya kami menggunakan motor sehingga lebih lincah melewati jalan sempit dan juga berliku-liku, plus naik turun pula. Tak juga sepanjang perjalanan, telinga terasa ‘budeg’ karena tekanan udara yang berbeda ketika jalan naik.
          Kami pun tiba di wilayah penginapan di sana. Kami berhenti dulu di satu masjid untuk beristirahat sambil menunggu waktu sholat Dzuhur. Setelah waktu Dzuhur datang, ayah saya pun mengambil air wudhu. “Airnya dingin...” ucapnya mengingat air ini murni berasal  dari pegunungan dan juga suhu udara disana yang masih bersih. Kami bergantian melaksanakan sholat karena salah satu dari kami harusada yang mengawasi barang-barang bawaan.
          Setelah selesai melaksanakan sholat, kami memutuskan untuk tidak hanya berhenti di sana lalu menikmati pemandangan dari kaki gunung. Kami memutuskan untuk naik keatas puncak menggunakan motor kami untuk melihat gunung slamte itu dari jarak yang lebih dekat. Kami melewati jalur yang terbuat dari bebatuan yang tersusun secara tidak rata. Sungguh pegal rasanya tangan ini mengendarai motor sport untuk naik bukit. Tengok ke kiri sedikit sudah jurang. Pada hari itu saya, ayah saya, dan temannya, bisa di bilang menantang maut. Bila ban kami tergelincir saja, sudah selesai semua urusan.
          Lalu kami sempat berhenti sejenak di satu pos disana. Untuk istirahat sejenak dan menikmati pemandangan untuk sementara. Lalu ada seorang petugas yang bekerja di perbukitan sana. Ayah saya dan Pak Erwadi sempat mengobrol dengannya menggunakan bahasa Jawa yang saya tidak mengerti. Kemudian ternyata ia memberitahu kalau di tempat kita berhenti itu belumlah puncak satu alias puncak paling tinggi di bukit itu. “Puncak yang paling tinggi masih di sana, puncak satu” ungkapnya kepada kami.
          Kamipun kembali menyarter motor kami, lalu tancap gas untuk naik ke puncak satu. “Tanggung dek, udah sampe sini masa gak naek kesana..” ucap ayah saya. Karena jalan terus menanjak, sehingga putaran mesin saya harus terus saya tahan di tengah hingga atas agar motor mau diajak menanjak. Hal ini menyebabkan indicator radiator saya menyala 4 strip. Normalnya 3 strip. Ini artinya mesin sudah mulai overheat. Namun saya tidak perduli, toh begitu sampai atas pasti kami bakal berhenti lama di sana sehingga mesin kembali ‘adem’.
          Sesampainya di puncak satu, kami memarkirkan motor kami dipinggir, lalu kami harus menaiki sedikit anak tangga untuk benar-benar berada di atas karena memang di atas tersedia seperti semacam pos untuk orang bisa duduk dan beristirahat disana, sambil menikmati pemandangan gunung slamet dari jarak yang cukup dekat. “Wah keren ini pak pemandangannya..” ungkap pak Erwadi kepada ayah saya. Kami pun mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Pak Erwadi juga mengambil foto saya dan ayah saya.
          Ketika di sana, saya melihat ke arah dimana langit terhampar luas. Tidak ada gedung atau apapun. Saya benar-benar bisa melihat awan  kira-kira ratusan kilometer jaraknya. Di benak saya seketika berpikir, “mamah sama mbak lagi apa ya di rumah?” Karena saya sadar begitu jauh jarak saya dengan rumah. Dan apapun bisa saja terjadi ketika dalam perjalanan menuju pulang ke rumah. Saya justru ingin sekali segera pulang.
          Setelah sekitar 1  jam setengah kami duduk di puncak satu. Kami memutuskan untuk kembali turun ke daerah penginapan. Lalu selama melakukan perjalanan, kami sempat tersesat di jalur yang kami rasa di situ-situ saja. Rasa panik sempat muncul di dalam diri saya karena kami hanya bertiga di antara bukit-bukit yang benar-benar masih kental ‘hutan’nya. Sampailah kami melihat beberapa pedagang sayur yang sedang menaikan sayur-sayurnya ke dalam mobil losbak mereka. Lalu kami menghampiri mereka untuk meminta bantuan agar tidak tersesat. Lalu kami akhirnya berjalan mengikuti mobil mereka. Ternyata benar saja, ada jalur yang memang bisa disebut ‘blind spot’ Kami tidak ngeh kalau ada jalur kesana, pantas saja kami dari tadi hanya mondar-mandir disitu saja.
          Setelah sampai di daerah penginapan. Kami mengucapkan terima kasih kepada mereka karena sudah mau mengantarkan kami kembali ke ‘wilayah aman’. Setelah itu kami check in ke hotel kecil di sana untuk menginap selama semalam. Kami pun berisitirahat dengan cukup, karena keesokan harinya saya dan ayahnya harus mengantarkan pulang Pak Erwadi kembali ke rumahnya.
          Keesokan paginya, sekitar pukul 8 atau 9. Saya bangun kedua setelah Pak Erwadi. Lalu saya menyempatkan diri untuk mencuci motor saya dulu dengan ember yang tersedia di sana. Karena motor saya benar-benar tertutup debu dan pasir bekas perjalanan panjang selama dua hari terakhir. Begitu pula dengan ayah saya setelah ia bangun.

          Setelah itu kami kembali bersiap-siap untuk kembali melakukan perjalanan pulang. Kami check out dari hotel tersebut, lalu kembali tancap gas. Setelah beberapa jam perjalanan ke Kota Tegal, Pak Erwadi berhasil dengan selamat kami antar pulang ke depan pintu rumahnya. Tak berlama-lama di sana, kami langsung lanjut tancap gas pulang ke Tangerang. Jalan macet, gerimis, panas kami terjang saja terus. Karena saya dan ayah saya sudah ingin cepat-cepat pulang kerumah. Cukup pegal tangan dan panas bokong ini karena melakukan perjalanan di atas motor secara non-stop. Lalu kami sampai Jakarta sudah begitu malam. Karena seingat saya, kami sampai rumah itu sekitar jam 2 tengah malam. Sungguh melelahkan touring kami pada waktu itu. Entah di masa depan apakah saya ingin melakukannya lagi atau tidak.